Yusdianto Benggele, S.HI., M.H.- Direktur Lembaga Advokasi dan Penyalur Aspirasi Rakyat)
IndeksSultra.com- Di berbagai daerah di Indonesia, konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan tambang atau perkebunan bukan lagi hal baru. Namun, salah satu bentuk pelanggaran yang paling meresahkan adalah pencantuman lahan milik masyarakat dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau izin konsesi perkebunan tanpa seizin pemilik lahan.
Ini bukan hanya persoalan administratif semata, tetapi sebuah bentuk perampasan hak atas tanah yang melanggar prinsip hukum dan keadilan.
Pelanggaran yang Terjadi
Perusahaan yang memasukkan lahan masyarakat ke dalam wilayah IUP tanpa persetujuan pemiliknya telah melanggar hak keperdataan dan hak konstitusional warga negara atas tanahnya. Praktik ini sering terjadi melalui manipulasi peta atau pengajuan wilayah konsesi yang tidak melalui proses musyawarah atau konsultasi dengan pemilik lahan. Padahal, sesuai Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, setiap orang berhak memiliki harta secara sah dan dilindungi dari perampasan.
Lebih lanjut, dalam konteks pertambangan, UU No. 3 Tahun 2020 (Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) menyatakan bahwa pemegang IUP harus menyelesaikan hak atas tanah dengan pemilik sebelum melakukan kegiatan. Artinya, tanpa adanya pelepasan hak atau pembebasan lahan secara sah, maka kegiatan perusahaan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Sanksi dan Aspek Hukum
Secara hukum, terdapat beberapa konsekuensi dan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar:
Administratif: Pemerintah dapat mencabut atau meninjau ulang IUP jika ditemukan bukti pelanggaran terhadap hak masyarakat, termasuk pelanggaran prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
Pidana: Jika terbukti ada unsur penyerobotan tanah (Pasal 385 KUHP), pelaku dapat dipidana penjara.
Perdata: Pemilik lahan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri untuk membatalkan pencantuman lahannya dalam IUP, serta menuntut ganti rugi.
Tindak Pidana Korupsi: Jika proses pemberian IUP dilakukan melalui praktik manipulatif dengan melibatkan oknum pejabat, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Langkah Hukum Pemilik Lahan
Bagi masyarakat atau pemilik lahan yang merasa lahannya masuk IUP tanpa izin, langkah-langkah berikut bisa dilakukan:
1. Klarifikasi ke Dinas Terkait: Mengajukan permintaan data peta IUP ke Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau Dinas Perkebunan setempat.
2. Somasi dan Laporan Resmi: Memberikan somasi tertulis kepada perusahaan dan melapor ke aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, bahkan KPK bila ada unsur gratifikasi).
3.Gugatan Perdata: Menggugat ke pengadilan untuk mengeluarkan lahan dari wilayah IUP serta menuntut ganti kerugian materiil dan immateriil.
4. Lapor Ombudsman atau Komnas HAM: Jika terdapat kelalaian atau penyalahgunaan wewenang dari pejabat publik dalam proses penerbitan IUP.
5. Aliansi dengan LSM atau Advokat Rakyat: Untuk memperkuat posisi hukum dan advokasi publik agar mendapat perhatian luas dan tekanan terhadap pemerintah serta perusahaan.
Kasus pencantuman lahan rakyat ke dalam IUP tanpa izin adalah bentuk nyata dari ketimpangan kekuasaan dan pengabaian hak-hak konstitusional warga negara. Negara harus hadir untuk melindungi masyarakat dari praktik semena-mena. Keadilan agraria bukan hanya soal kepemilikan, tapi juga soal kedaulatan, martabat, dan hak hidup yang layak di atas tanah leluhur sendiri.
Selama hukum masih bisa dijalankan, masyarakat berhak dan wajib memperjuangkan haknya. Jangan biarkan tanah rakyat menjadi korban rakusnya investasi tanpa etika.
Oleh: Yusdianto Benggele, S.HI,. M.H
Komentar