Tenaga Pendamping Profesional Harus Inovatif, Pilar Transformasi Pembangunan Desa di Era Dinamika Regulasi

HEADLINE, OPINI890 Dilihat

Oleh: Yusdianto, S.HI., M.H (Direktur Lembaga Advokasi dan Penyalur Aspirasi Rakyat Sulawesi Tenggara)

IndeksSultra.com, Kendari- Pembangunan desa merupakan pilar utama pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, perhatian terhadap desa meningkat signifikan, terutama melalui pengalokasian Dana Desa dan penguatan kewenangan lokal.

Dalam konteks ini, peran Tenaga Pendamping Profesional (TPP) menjadi sangat strategis. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai fasilitator teknis, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial yang mampu menjembatani antara regulasi pusat dengan kebutuhan riil masyarakat desa.

Namun, ditengah kompleksitas regulasi dan dinamika pembangunan, keberhasilan TPP tidak cukup diukur dari kemampuan administratif atau ketekunan dalam menyampaikan laporan. TPP harus inovatif yakni mampu membaca, memahami, dan mengartikulasikan regulasi untuk diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkrit yang kontekstual dan kreatif di desa. Inovasi bukan hanya tuntutan zaman, melainkan keharusan struktural dalam sistem pendampingan.

Membaca Regulasi: Bukan Sekedar Memahami, Tetapi Mengartikulasikan

Setiap tahun, Kemendesa PDTT dan lembaga teknis lainnya mengeluarkan berbagai kebijakan, regulasi, dan pedoman pelaksanaan terkait Dana Desa, pembangunan berbasis SDGs Desa, penguatan kelembagaan, hingga digitalisasi desa. Di sinilah tantangan pertama TPP muncul adalah bagaimana membaca regulasi secara kritis dan artikulatif.

Membaca regulasi tidak cukup dilakukan secara tekstual. TPP harus mampu menafsirkan semangat dan maksud kebijakan yang terkandung dalam setiap aturan, sehingga mampu menghindari pendekatan kaku dan birokratis. Misalnya, dalam memahami Peraturan Menteri Desa tentang prioritas penggunaan Dana Desa, TPP harus bisa mengaitkannya dengan konteks lokal. Apakah desa memiliki potensi pertanian, wisata, atau ekonomi kreatif? Bagaimana regulasi tersebut diinterpretasikan secara tepat agar tidak menjadi beban administratif tetapi alat transformasi?

Lebih jauh lagi, artikulasi regulasi mengharuskan TPP untuk mampu menjelaskannya secara sederhana kepada para perangkat desa dan masyarakat. Kemampuan komunikasi dan simplifikasi menjadi bagian dari inovasi itu sendiri.

BACA JUGA  Sekolah Garuda Resmi Diluncurkan di Konawe Selatan, Hadirkan Harapan Baru bagi Pendidikan Sultra

Inovasi Bukan Pilihan, Melainkan Tuntutan Profesionalisme

Inovasi dalam pendampingan tidak harus selalu besar dan spektakuler. Sering kali, inovasi muncul dalam bentuk tindakan kecil namun solutif. Ketika desa mengalami hambatan dalam penyusunan APBDesa karena keterlambatan informasi dari kabupaten, seorang PLD atau PD yang inovatif dapat memfasilitasi lokakarya kecil dengan memanfaatkan sumber daya lokal, menyederhanakan format dokumen sesuai koridor hukum, dan mendorong percepatan penyusunan tanpa harus menunggu arahan lebih lanjut.

TPP juga dapat berinovasi melalui pendekatan interdisipliner. Misalnya, mengintegrasikan teknologi digital sederhana untuk pelaporan, menyusun sistem monitoring berbasis masyarakat, atau mendorong partisipasi pemuda desa dalam perencanaan melalui media sosial. Inilah bentuk nyata pendamping profesional yang tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga menggerakkan energi sosial desa.

Lebih penting lagi, TPP di tingkat kabupaten dan provinsi memiliki ruang gerak yang lebih luas untuk melakukan inovasi sistemik. Mereka dapat membentuk forum lintas desa, mengembangkan platform pembelajaran antar-TIK (Tim Inovasi Kabupaten), serta menyusun modul-modul pelatihan mandiri berbasis praktik baik lokal. Dengan begitu, pendampingan tidak terjebak pada pelatihan formal semata, tetapi berkembang menjadi proses pembelajaran kolektif.

Menghindari Ketergantungan Pada Arahan Pusat

Salah satu masalah krusial dalam sistem pendampingan adalah budaya menunggu. Banyak TPP di lapangan menunda tindakan dengan alasan belum adanya arahan atau juknis resmi dari pusat. Padahal, pendampingan yang berkualitas harus mampu membaca arah kebijakan meskipun dalam kerangka yang masih dinamis.

Pembangunan desa adalah arena lokal yang unik dan kompleks. Dalam banyak kasus, kebijakan pusat tidak selalu sejalan dengan tantangan kontekstual di desa. Oleh karena itu, TPP harus berani bertindak dalam batas kewenangan profesionalnya dengan tetap menjaga akuntabilitas.

BACA JUGA  Terbukti Bersalah, Eks Wali Kota Kendari dan Syarif Maulana Dihukum 1 Tahun Penjara

Ketergantungan pada instruksi vertikal dapat menghambat proses pembangunan yang inklusif dan adaptif. Jika TPP di semua tingkatan dari provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa berani melakukan inovasi sesuai kapasitas masing-masing, maka setiap regulasi pusat akan menjadi pijakan, bukan beban. Ini adalah esensi dari transformasi dari bawah (bottom-up development).

Inovasi sebagai Kunci Desa Berkembang
Tidak ada alasan bagi sebuah desa untuk tidak berkembang jika TPP yang mendampinginya mampu melakukan inovasi. Sebab pada dasarnya, pembangunan desa tidak semata ditentukan oleh besarnya anggaran, tetapi oleh kualitas intervensi dan fasilitasi yang dilakukan oleh pendamping.

TPP yang inovatif akan mampu:
1. Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih aktif.
2. Mengidentifikasi dan mengoptimalkan potensi lokal.
3. Menyederhanakan instrumen regulasi agar lebih mudah diimplementasikan.
4. Menjembatani pemahaman antara perangkat desa dan pemerintah pusat.
5. Menyusun alternatif solusi ketika regulasi tidak lagi relevan terhadap situasi lapangan.

Dengan demikian, inovasi bukan hanya mempercepat pembangunan, tetapi juga memastikan keberlanjutannya karena berbasis pada kapasitas lokal.

Menuju Ekosistem Pendampingan Yang Dinamis

Sudah saatnya paradigma pendampingan desa bergerak dari pola “mengikuti arahan” menuju pola “menggerakkan perubahan.” TPP tidak boleh lagi diposisikan sebagai operator teknis semata, tetapi harus menjadi katalisator inovasi. Mereka harus mampu membaca regulasi dengan cermat, mengartikulasikannya secara jelas, dan menerjemahkannya menjadi aksi nyata yang kontekstual.

Kemajuan desa tidak lahir dari kebijakan pusat semata, tetapi dari daya hidup lokal yang dibangkitkan oleh kehadiran pendamping yang progresif. Ketika setiap TPP menyadari peran strategisnya sebagai motor inovasi pembangunan desa, maka cita-cita Indonesia maju dari pinggiran akan menjadi kenyataan, bukan sekadar slogan.

Penulis: Yusdianto, S,HI., MH 

Komentar